Selasa, 06 Mei 2014

MOTIF BATIK GIRILOYO

Kekayaan alam Yogyakarta sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun hasilnya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, kain batik-tulis bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa pembuatnya. Motif-motif ragam hias biasanya dipengaruhi dan erat kaitannya dengan faktor-faktor: (1) letak geografis; (2) kepercayaan dan adat istiadat; (3) keadaan alam sekitarnya termasuk flora dan fauna; dan (4) adanya kontak atau hubungan antardaerah penghasil batik; dan (5) sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan.

Dalam Katalog Batik Khas Yogyakarta terbitan Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1996), menyebutkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tidak memiliki lebih dari 400 motif batik, baik motif klasik maupun modern. Beberapa nama ragam hias atau motif batik Yogyakarta antara lain: Parang, Banji, tumbuh-tumbuhan menjalar, tumbuh-tumbuhan air, bunga, satwa, Sido Asih, Keong Renteng, Sido Mukti, Sido Luhur, Semen Mentul, Sapit Urang, Harjuna Manah, Semen Kuncoro, Sekar Asem, Lung Kangkung, Sekar Keben, Sekar Polo, Grageh Waluh, Wahyu Tumurun, Naga Gini, Sekar Manggis, Truntum, Tambal, Grompol, Ratu Ratih, Semen Roma, Mdau Broto, Semen Gedhang, Jalu Mampang dan lain sebagainya.

Masing-masing motif tersebut memiliki nilai filosofis dan makna sendiri. Adapun makna filosofis dari batik-batik yang dibuat di Giriloyo antara lain: (1) Sido Asih mengandung makna si pemakai apabila hidup berumah tangga selalu penuh dengan kasih sayang; (2) Sido Mukti mengandung makna apabila dipakai pengantin, hidupnya akan selalu dalam kecukupan dan kebahagiaan; (3) Sido Mulyo mengandung makna si pemakai hidupnya akan selalu mulia; (4) Sido Luhur mengandung makna si pemakai akan menjadi orang berpangkat yang berbudi pekerti baik dan luhur; (5) Truntum3 mengandung makna cinta yang bersemi; (6) Grompol artinya kumpul atau bersatu, mengandung makna agar segala sesuatu yang baik bisa terkumpul seperti rejeki, kebahagiaan, keturunan, hidup kekeluargaan yang rukun; (7) Tambal mengandung makna menambah segala sesuatu yang kurang. Apabila kain dengan motif tambal ini digunakan untuk menyelimuti orang yang sakit akan sebuh atau sehat kembali sebab menurut anggapan pada orang sakit itu pasti ada sesuatu yang kurang; (8) Ratu Ratih dan Semen Roma melambangkan kesetiaan seorang isteri; (9) Mdau Bronto melambangkan asmara yang manis bagaikan madu; (10) Semen Gendhang mengandung makna harapan agar pengantin yang mengenakan kain tersebut lekas mendapat momongan.

Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap pembatik dapat membuat motif sendiri. Orang yang membatik tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan batik tulis merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para pembatik di Giriloyo khususnya dan Yogyakarta umumnya, seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian membatik tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya





Asyiknya Berwisata ke Kampung Batik Giriloyo

Destinasi wisata batik ke kampung Giriloyo adalah satu agenda yang harus anda pertimbangkan ketika anda berkunjung ke Yogyakarta. Di kampung ini anda bisa membeli batik asli tulis tangan atau bahkan sekedar ingin mempelajari warisan budaya batik tulis.
Sebagian besar masyarakat di kampung Giriloyo adalah pengrajin batik, mereka rela mengabdikan diri menggoreskan canthing menghabiskan waktu duduk hampir seharian penuh menahan pegal untuk membatik. 
Wisata Batik giriloyo
Jadi ketika anda pergi ke Giriloyo, pasti anda akan menemukan kaum perempuan yang sedang membatik dari usia muda, setengah baya sampai yang sudah usia renta.
Sebenarnya, berapakah mereka mendapatkan upah untuk pekerjaan mereka melestarikan tradisi budaya tersebut? Rata-rata mereka mendapatkan uang dari hasil jerih payah mereka selama hampir satu minggu adalah 40 ribu rupiah. Itu artinya pendapatan mereka untuk menopang beban ekonomi dari hasil buruh membatik selama satu bulan adalah berkisar antara 100 ribu sampai 150 ribu rupiah. Itulah alasan kenapa mereka benar-benar bisa kita sebut sebagai pejuang yang mengabdikan diri untuk melestarikan warisan tradisi budaya Indonesia. Dan kiranya kita layak menghargai karya mereka dengan membeli dan mengenakan produk mereka dengan rasa bangga: inilah produk asli Indonesia.
Kampung Giriloyo,ya di desa yang nyaman dan kaya budaya inilah mereka tinggal, sisini sentra dari para pengrajin batik tulis di Yogyakarta. Sempatkanlah untuk berkunjung ke kampung ini ketika anda berkunjung ke Yogyakarta. Batik disini sangat bagus dan klasik sekali. Anda pasti akan menyukainya.
Visit our village! kampung batik Giriloyo. Satu kain batik tulis yang asli di tulis tangan, membutuhkan waktu yang panjang untuk membuatnya. Dari proses awal pembuatan pola kemudian melewati sekitar 4 kali proses penulisan sampai pada tahap akhirnya yaitu pewarnaan, menghabiskan waktu sekitar 1,5 bulan dan produk tersebut baru akan jadi. Semua proses dilalui satu per satu untuk mempertahankan nilai seni dan sejarah dalam pembuatan batik tulis. Nah, proses demi proses tersebutlah yang dapat anda pelajari dalam short course atau kemasan paket wisata batik Giriloyo.
Landscape pegunungan dan sawah yang luas menjadi daya tarik tersendiri ketika anda berkunjung ke kampung ini. Dan tahukah anda bahwa makam raja-raja Yogyakarta dan Solo berada di puncak pegunungan tersebut? Benteng, gerbang dan bangunan kuno simbol kejayaan mataram masih terawat di kompleks pemakaman keluarga raja-raja di Pajimatan Imogiri ini.
Kampung Giriloyo juga sering sekali dijadikan sebagai lokasi syuting, hampir setiap seminggu sekali ada rumah produksi yang melakukan syuting film dan sinetron di kampung Giriloyo karena backgroundnya yang masih tradisional dan menarik.

Kalau Bukan Kita Generasi Muda Siapa yang Melanjutkan?

Membatik, mungkin masih menjadi mata pencaharian utama masyarakat Giriloyo khususnya kaum ibu rumah tangga. Akan tetapi yang harus menjadi perhatian utama adalah menurunnya minat generasi muda di kampung ini untuk mempelajari dan menekuni batik. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyak faktor dan yang paling berpengaruh bisa jadi adalah karena adanya dampak dari kemajuan teknologi dan modernisasi.

Banyak generasi muda sepertinya lebih asyik memainkan gadget terbaru, mengendarai sepeda motor matic dan terlalu adiktif dengan jejaring sosial seperti facebook. Dibandingkan harus menggoreskan canthing dan belajar membatik.
Meski tidak ada yang salah, tapi ini patut menjadi perhatian serius masyarakat Giriloyo. Karena menurunnya minat belajar membatik generasi muda akan memutuskan rantai regenerasi warisan budaya batik di Giriloyo. Dan inilah yang harus kita hindari. Batik sudah diakui dunia menjadi “milik” Indonesia, tinggal bagaimana upaya kita dalam menjaga dan melestarikan kekayaan budaya ini.
Bolehlah kita memanfaatkan produk teknologi yang modern, tapi seharusnya ini dapat menjadi media yang mempermudah kita untuk mengangkat nilai budaya dan potensi masyarakat sekitar: Batik salah satunya.
Produk teknologi seperti smartphone, internet, Facebook sudah merambah sampai ke pelosok kampung-kampung termasuk di dusun Giriloyo. Akan tetapi baru sebagian kecil yang memanfaatkannya untuk mempromosikan warisan budaya Batik yang potensial. Dan dalam kenyataanya sedikit juga generasi muda yang mau mempelajari batik lebih serius.
Sesungguhnya batik sangatlah potensial dari segi ekonomi, bayangkan saja hampir seluruh pejabat di Indonesia mempunyai koleksi batik. Pelajar di sekolah-sekolah dan universitas pun demikian. Harusnya kita masyarakat Giriloyo dapat mensupplay lebih besar lagi kebutuhan baju batik mereka.
Batik tulis asli prosesnya memang sangatlah panjang dan melelahkan, itulah sebabnya kapasitas produksi batik tulis juga belum dapat dikejar, ini mungkin menjadi faktor lain yang menurunkan minat generasi muda untuk mempelajari batik di Giriloyo.
Disamping itu kalau dihitung diatas kertas, sebagai buruh mencanthing batik yang memakan waktu, banyak generasi muda yang berfikiran lebih baik bekerja di pabrik atau toko sebagai karyawan yang gajinya sudah pasti dan lebih besar.
Ini sebenarnya sangat krusial juga dan harus segera dicarikan solusi. Bagaimana kita menemukan inovasi supaya membuat batik tulis itu, proses demi proses menjadi sangat menyenangkan dan lebih menguntungkan dari segi ekonomi bagi seluruh masyarakat baik dari level buruh sampai juragan, disamping tetap menjaga kualitas batik itu sendiri.
Dan sebenarnya itu juga merupakan tugas kita sebagai generasi muda yang dilahirkan di kampung batik Giriloyo. Sentra batik tulis di Yogyakarta.
Tentunya, banyak diantara kita yang pendidikannya lebih tinggi. Bagaimana kalau kita yang muda-muda ini berinovasi dan menjadi pengusaha batik? Bayangkan saja disepanjang jalan di Giriloyo dipenuhi Galeri batik bernuansa kampung dengan produknya yang berkualitas eksport. Wow? Keren!
Batik di Giriloyo, Kalau Bukan Kita Generasi Muda Siapa yang Melanjutkan?

source : http://batikgiriloyo.com/kalau-bukan-kita-generasi-muda-siapa-yang-melanjutkan/